Neng ngarepe SPG Blitar krungu halo-halo mlaku, enek suara "akan digelar pencak dor" monggo sami rawuh di hari Sabtu malem minggu. Sayange ora ngerti panggone, ta goleki artikele akhire nemu iku? be e konco-konco enek seng luweh ngerti monggo dikomentari?
Tarung Bebas Kediri, Hasrat Bertarung Yang Tak Lekang Oleh waktu

Oleh: Andri Oktavia
Disamping dikenal sebagai Kota Tahu, Kediri juga dikenal lewat tarung bebasnya. Persis seperti
Ultimate Fighting Championship atau gelaran pertandingan
mix martial art yang mempertemukan semua aliran beladiri. Tarung bebas juga diikuti orang-orang yang ingin menjajal ilmu beladiri yang dimilikinya.
Dua orang yang siap bertarung naik ke atas panggung dan melampiaskan hasrat untuk saling mengalahkan, sebelumnya mereka bersalaman. Tak jarang, ceceran darah mewarnai aksi mereka dalam beberapa menit di atas panggung tersebut.
Pertarungan bebas ala Kediri yang sudah tersohor se-antero Jawa Timur, kerap disebut Pencak Dor, pertama kali dipopulerkan oleh KH Maksum Djauhari (Gus Maksum) di era 60-an. Tradisi tersebut berlanjut hingga kini, untuk meramaikan acara hajatan, atau peringatan hari besar tertentu.
Pertarungan ini bisa dikatakan benar-benar sebuah pertarungan yang ”liar”, sepanjang pertandingan digelar, adegan
adu jotos, tendangan atau bantingan, baik yang terukur atau tidak, jadi suguhan puluhan ribu penonton.
Karena bebas-bebas saja, alias tidak ada peraturan, kecuali setiap pemain mesti sportif, tidak memukul lawan yang sudah menyerah, atau memukul ke bagian belakang tubuh lawannya, pertandingan jadi amat menarik untuk disimak.
Pertandingan baru akan selesai jika wasit melihat salah satu petarung menyerah atau menurut penilaian wasit, salah satu diantara petarung sudah tak layak meneruskan pertandingan.
Selama fisik masih mendukung dan perserta masih siap, pertarungan akan tetap berjalan berapapun lamanya waktu dibutuhkan, hingga salah satu petarung menyerah atau terkapar.
Biasanya, sebelum bertanding, dua orang petarung akan memulainya dengan bersalaman. Salaman tersebut memiliki maksud diatas panggung mereka adalah lawan, namun setelahnya mereka adalah kawan.
Konon, sesakti apapun seseorang jika sudah berada di atas arena, kesaktiannya akan hilang. Jadi, ketika berada di atas panggung, yang berperan adalah kemampuan kanuragan dan fisik semata.
Untuk menghindari penyalahgunaan, biasanya panitia akan meminta perserta melepas atribut-atribut petarung, seperti kalung, atau perhiasan lain yang berbau jimat, maksudnya agar pertarungan benar-benar fair. Petarung hanya menggunakan celana dan kaos, serta tidak diperkenankan mengenakan jaket, dan setiap pemain hanya diperbolehkan bertarung sekali.
Ring tempat beradu jotos, sudah ‘dibersihkan’ lewat sebuah doa yang dulunya dibacakan oleh Gus Maksum, salah seorang Tokoh Kediri, sekaligus tokoh Ponpes Lirboyo. Setelah Gus Maksum wafat, yang mewarisi doa pemagar arena adu jotos tersebut, kabarnya Gus Bidin, maksudnya agar ilmu apapun luntur di atas ring.
Panggung pertarungan cukup luas, sekitar lima kali lima meter. Kayu panggung yang digunakan pun tanpa matras. Sehingga, jika terjatuh pasti petarung akan disambut oleh kerasnya kayu alas panggung tersebut.

Kepada
iwanfals.co.id, Muchammad Nabil Harun, Pengurus Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, yang masih secara rutin menggelar acara adu jotos itu, menyatakan jawara yang datang untuk bertarung ada yang berasal dari Ponorogo, Blitar, Tulungagung, Madiun, dan sebagainya.
Bahkan, beberapa perguruan silat kendati tak terang-terangan, juga hadir di
event ini. Nabil mengaku masih dapat membedakan mana para petarung yang berasal dari Pagar Nusa, Setia Hati Terate, Taekwondo, Wushu, terutama dari teknik dan gaya bertarungnya di atas arena.
Acara di Lirboyo sendiri kerap digelar di Bulan Sa’ban, menjelang Bulan Puasa.
Event ini biasanya digelar dengan jumlah perserta sekitar 500-600 petarung. ”Setelah selesai bertarung, petarung akan memperoleh kupon makan. Lantas secara bersama-sama mereka makan,” tambahnya sembari menyatakan memang hanya makan, sebagai hadiah bagi petarung.
Uniknya, terkadang ada petarung yang punya masalah dengan seseorang, lantas mereka berdua sepakat untuk menyelesaikannya di atas panggung. ”Tetapi memang, jika di atas sudah tanding lantas di bawah geger lagi, Pagar Nusa akan
memberesi orang-orang yang seperti itu,” tambahnya.
Mengenai pesertanya menurut Nabil, rata-rata adalah orang yang memang ingin berduel. Disamping itu ada juga yang sekedar cari nama atau unjuk kekuatan. Peserta yang sudah berani naik ke panggung menanggung sendiri keselamatannya. ”Itu memang kesepakatannya, kita hanya mewadahi orang yang ingin
adu jotos saja,” tambahnya.
Tarung bebas di Lirboyo digelar setiap tahunnya, demikian pula dengan sepak bola api, panjat pinang golok, debus, bermain tongkat api, yang diadakan untuk meramaikan acara tarung bebas tersebut.
Suksesnya gelaran acara tersebut tanpa publikasi yang memadai, dari mulut ke mulut. Pertandingannya sendiri biasanya dimulai pukul 8 malam, hingga lewat tengah malam. Dihadiri tak kurang 40.000 orang penonton.
Karena tradisi ini sarat dengan tontonan kekerasan, jadi cerita lumrah juga, jika ada peserta yang mengalami sobek pelipis hingga dijahit beberapa jahitan, ‘kepala bocor’, memar, atau bahkan pernah ada yang mengalami retak tulang tangan, karena terjatuh di arena tarung yang dikenal berkayu keras.
Uniknya, belakangan tren penonton kian ramai mengikuti acara ini. Sementara dari pesertanya juga kerap turun peserta langganan mengikuti Pencak Dor, meski mulai banyak juga yang kurang paham beladiri, bermodal nekat, mereka berani turun di arena ini.
Kejadian-kejadian unik yang sering terjadi juga dikatakannya, sering seseorang yang ingin bertanding tidak diperbolehkan oleh wasit karena berbagai pertimbangan. Hal ini menyulut emosi peserta tersebut hingga timbul kegaduhan. Uniknya, di seantero Kediri ketika gelaran tersebut digelar, seringkali Gus Bidin muncul tiba-tiba, mendinginkan kegaduhan yang terjadi.
Seperti ”kegaduhan” yang terjadi di Kecamatan Ngadiluwih dan di beberapa arena Pencak Dor lainnya, Gus Bidin tampak mendinginkan suasana dengan caranya sendiri. ”Terkadang dia hanya duduk sembari melayang dan merokok di atas penonton yang rusuh. Dengan begitu saja, tanpa berbuat macam-macam massa sudah mengerti, acara kembali tertib lagi,” tandas Nabil.
Sumber :
http://www.iwanfals.co.id/news/view/id/266