Kabupaten Blitar
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kabupaten Blitar adalah salah satu
kabupaten di
Provinsi Jawa Timur,
Indonesia. Pusat pemerintahan kabupaten ini berada di
Kanigoro.
[sunting] Pembagian administratif
Kabupaten Blitar memiliki 22
kecamatan yang dibagi lagi menjadi 220
desa dan 28
kelurahan, Kabupaten Blitar memiliki luas 1.588,79 km².
[sunting] Batas wilayah
Gunung Kelud (1.731 m. dpl.), salah satu
gunung api strato yang masih aktif di
Pulau Jawa yang terletak di bagian utara
kabupaten ini berbatasan langsung dengan
Kabupaten Kediri. Bagian selatan Kabupaten Blitar (yang dipisahkan oleh
Sungai Brantas) dikenal sebagai penghasil
kaolin dan dilintasi oleh Pegunungan Kapur Selatan. Pantai yang terkenal antara lain Pantai Tambakrejo, Serang, dan Jalasutra.
[sunting] Keadaan tanah
Blitar, baik
kota maupun kabupaten, terletak di kaki
Gunung Kelud,
Jawa Timur. Daerah Blitar selalu terkena lahar
Gunung Kelud yang sudah meletus puluhan kali terhitung sejak tahun
1331. Lapisan-lapisan tanah
vulkanik yang banyak ditemukan di
Blitar pada hakikatnya merupakan hasil pembekuan lahar
Gunung Kelud yang telah meletus secara berkala sejak bertahun-tahun yang lalu.
Keadaan tanah di daerah Blitar yang kebanyakan berupa tanah
vulkanik, mengandung abu letusan
gunung berapi,
pasir, dan
napal (batu kapur yang tercampur tanah liat). Tanah tersebut pada umumnya berwarna abu-abu kekuningan, bersifat masam, gembur, dan peka terhadap
erosi. Tanah semacam itu disebut
regosol yang dapat dimanfaatkan untuk menanam
padi,
tebu,
tembakau, dan
sayur mayur. Selain hijaunya
persawahan yang kini mendominasi pemandangan alam di daerah Kabupaten Blitar, ditanam pula tanaman
tembakau di daerah ini.
Tembakau ini mulai ditanam sejak
Belanda berhasil menguasai daerah ini sekitar abad ke-17. Bahkan, kemajuan ekonomi
Blitar pernah ditentukan dengan keberhasilan atau kegagalan produksi
tembakau.
Sungai Brantas yang mengalir dari timur ke barat membagi Kabupaten Blitar menjadi dua, yaitu bagian utara dan selatan. Bagian selatan Kabupaten Blitar (sering disebut Blitar Selatan) kebanyakan tanahnya berjenis
grumusol. Tanah semacam ini hanya produktif bila dimanfaatkan untuk menanam
ketela pohon,
jagung, dan
jati.
[sunting] Sungai Brantas
Sungai Brantas merupakan
sungai terpanjang kedua di
Jawa Timur setelah
Bengawan Solo (sebagian mengalir di wilayah
Jawa Tengah). Sungai ini memegang peranan penting dalam sejarah politik maupun sosial
Provinsi Jawa Timur. Sungai yang berhulu di
Gunung Arjuno ini turut membawa unsur-unsur utama dari dataran tinggi
aluvial di
Malang yang bersifat masam sehingga menghasilkan unsur garam yang berguna bagi kesuburan tanah.
Di Kabupaten Blitar, aliran air
Sungai Brantas diberi tambahan unsur utama sehingga menyebabkan daerah dataran rendah
aluvial yang dilintasi
Sungai Brantas, seperti
Tulungagung dan
Kediri, memiliki tanah yang subur.
[sunting] Masa kerajaan
Tiga daerah subur, yaitu
Malang,
Kediri, dan
Mojokerto, seakan-akan "diciptakan" oleh
Sungai Brantas sebagai pusat kedudukan suatu pemerintahan, sesuai dengan teori
natural seats of power yang dicetuskan oleh pakar geopolitik, Sir
Halford Mackinder, pada tahun
1919. Teori tersebut memang benar adanya karena kerajaan-kerajaan besar yang didirikan di
Jawa Timur, seperti
Kerajaan Kediri,
Kerajaan Singosari, dan
Kerajaan Majapahit, semuanya beribukota di dekat daerah aliran
Sungai Brantas.
Jika saat ini
Kediri dan
Malang dapat dicapai melalui tiga jalan utama, yaitu melalui Mojosari, Ngantang, atau
Blitar, maka tidak demikian dengan masa lalu. Dulu orang hanya mau memakai jalur melalui Mojosari atau
Blitar jika ingin bepergian ke
Kediri atau
Malang. Hal ini disebabkan karena saat itu, jalur yang melewati Ngantang masih terlalu berbahaya untuk ditempuh, seperti yang pernah dikemukakan oleh J.K.J de Jonge dan M.L. van de Venter pada tahun
1909.
Jalur utara yang melintasi Mojosari sebenarnya saat itu juga masih sulit dilintasi mengingat banyaknya daerah rawa di sekitar muara
Sungai Porong. Di lokasi itu pula, Laskar
Jayakatwang yang telah susah payah mengejar
Raden Wijaya pada tahun
1292 gagal menangkapnya karena medan yang terlalu sulit. Oleh karena itulah, jalur yang melintasi
Blitar lebih disukai orang karena lebih mudah dan aman untuk ditempuh, didukung oleh keadaan alamnya yang cukup landai.
Pada zaman dulu (namun masih bertahan hingga sekarang), daerah
Blitar merupakan daerah lintasan antara Dhoho (
Kediri) dengan Tumapel (
Malang) yang paling cepat dan mudah. Di sinilah peranan penting yang dimiliki
Blitar, yaitu daerah yang menguasai jalur transportasi antara dua daerah yang saling bersaing (Panjalu dan
Jenggala serta Dhoho dan
Singosari). Banyaknya prasasti yang ditemukan di daerah ini (kira-kira 21 prasasti) bisa dikaitkan dengan alasan tersebut.
[sunting] Kitab Negarakertagama
Pendapat yang mengatakan bahwa Kabupaten Blitar merupakan daerah perbatasan antara Dhoho dengan Tumapel dapat disimpulkan dari salah satu cerita dalam
Kitab Negarakertagama karya Empu Prapanca. Disebutkan dalam kitab tersebut bahwa
Raja Airlangga meminta Empu Bharada untuk membagi
Kerajaan Kediri menjadi dua, yaitu Panjalu dan
Jenggala. Empu Bharada menyanggupinya dan melaksanakan titah tersebut dengan cara menuangkan air kendi dari ketinggian
[2] Air tersebut konon berubah menjadi sungai yang memisahkan Kerajaan Panjalu dan
Kerajaan Jenggala. Letak dan nama sungai ini belum diketahui dengan pasti sampai sekarang, tetapi beberapa ahli sejarah berpendapat bahwa sungai tersebut adalah Sungai Lekso (masyarakat sekitar menyebutnya
Kali Lekso). Pendapat tersebut didasarkan atas dasar etimologis mengenai nama sungai yang disebutkan dalam
Kitab Pararaton.
[sunting] Kitab Pararaton
Diceritakan dalam Kitab Pararaton bahwa balatentara Daha yang dipimpin oleh
Raja Jayakatwang berniat menyerang pasukan Kerajaan
Singosari yang dipimpin oleh
Raja Kertanegara melalui jalur utara (Mojosari). Adapun yang bergerak melalui jalur selatan disebutkan dalam Kitab Pararaton dengan kalimat
saking pinggir Aksa anuju in Lawor... anjugjugring Singosari pisan yang berarti
dari tepi Aksa menuju Lawor... langsung menuju Singosari.[3] Nama atau kata
Aksa yang muncul dalam kalimat tersebut diperkirakan merupakan kependekan dari Kali Aksa yang akhirnya sedikit berubah nama menjadi Kali Lekso. Pendapat ini diperkuat lagi dengan peta buatan abad ke-17 (digambar ulang oleh
De Jonge) yang mengatakan bahwa
...di sebelah timur sungai ini (Sungai Lekso) adalah wilayah Malang dan di sebelah baratnya adalah wilayah Blitar.[4]
Oleh karena letaknya yang strategis,
Blitar penting artinya bagi kegiatan keagamaan, terutama
Hindu, di masa lalu. Lebih dari 12 candi tersebar di seantero
Blitar. Adapun candi yang paling terkenal di daerah ini adalah
Candi Penataran yang terletak di Desa Penataran,
Kecamatan Nglegok. Menurut riwayatnya,
Candi Penataran dahulu merupakan
candi negara atau candi utama kerajaan. Pembangunan
Candi Penataran dimulai ketika
Raja Kertajaya mempersembahkan
sima untuk memuja
sira paduka bhatara palah yang berangka tahun
Saka 1119 (
1197 Masehi).
Nama Penataran ini kemungkinan besar bukan nama candinya, melainkan nama statusnya sebagai candi utama kerajaan. Candi-candi pusat semacam ini di
Bali juga disebut dengan
penataran, misalnya Pura Panataransasih. Menurut seorang ahli, kata
natar berarti pusat, sehingga
Candi Penataran di sini dapat diartikan sebagai candi pusat.
Selengkapnya, silakan lihat laman Candi Penataran. Disebelah timur candi penataran terdapat suatu daerah
Doko beberapa tahun yang lalu juga telah ditemukan candi yang oleh masyarakat tersebut dijadikan obyek
wisata
Salah satu sumber sejarah yang paling penting adalah prasasti karena merupakan dokumen tertulis yang asli dan terjamin kebenarannya.
[5] Prasasti dapat diartikan sebagai tulisan dalam bentuk puisi yang berupa pujian.
[6]
Enam abad yang lalu, tepatnya pada bulan Waisaka tahun
Saka 1283 atau
1361 Masehi, Raja
Majapahit yang bernama
Hayam Wuruk beserta para pengiringnya menyempatkan diri singgah di
Blitar untuk mengadakan upacara pemujaan di
Candi Penataran. Rombongan itu tidak hanya singgah di
Candi Penataran, tetapi juga ke tempat-tempat lain yang dianggap suci, yaitu Sawentar (Lwangwentar) di
Kanigoro, Jimbe,
Lodoyo, Simping (Sumberjati) di
Kademangan, dan Mleri (Weleri) di
Srengat.
Hayam Wuruk tidak hanya sekali singgah di
Blitar. Pada tahun
1357 Masehi (1279
Saka)
Hayam Wuruk berkunjung kembali ke
Blitar untuk meninjau daerah pantai selatan dan menginap selama beberapa hari di
Lodoyo.
[7] Hal itu mencerminkan betapa pentingnya daerah
Blitar kala itu, sehingga
Hayam Wuruk pun tidak segan untuk melakukan dua kali kunjungan istimewa dengan tujuan yang berbeda ke daerah ini.
Pada tahun
1316 dan
1317 Kerajaan Majapahit carut marut karena terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Kuti dan Sengkuni. Kondisi itu memaksa
Raja Jayanegara untuk menyelamatkan diri ke desa Bedander dengan pengawalan pasukan Bhayangkara dibawah pimpinan
Gajah Mada. Berkat siasat
Gajah Mada,
Jayanegara berhasil kembali naik tahta dengan selamat. Adapun Kuti dan Sengkuni berhasil diringkus dan kemudian dihukum mati.
[8] Oleh karena sambutan hangat dan perlindungan ketat yang diberikan penduduk Desa Bedander, maka
Jayanegara pun memberikan hadiah berupa prasasti kepada para penduduk desa tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa pemberian prasasti ini merupakan peristiwa penting karena menjadikan
Blitar sebagai daerah swatantra di bawah naungan
Kerajaan Majapahit. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada hari
Minggu Pahing bulan Srawana tahun
Saka 1246 atau
5 Agustus 1324 Masehi, sesuai dengan tanggal yang tercantum pada prasasti. Tanggal itulah yang akhirnya diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Blitar setiap tahunnya.
[sunting] Transportasi
Kabupaten Blitar dilintasi oleh jalan provinsi yang menghubungkan daerah ini dengan
Kota Blitar,
Kabupaten Kediri,
Kabupaten Tulungagung, dan
Kabupaten Malang. Stasiun-stasiun yang berada di Kabupaten Blitar adalah
Garum,
Talun,
Wlingi,
Kesamben, dan
Pohgajih. Adapun terminal bus dan angkutannya hanya ada di
Kesamben,
Lodoyo,
Kademangan, dan Gawang (
Bakung).
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Blitar